Saat umurku mulai mencapai 15 tahun aku sudah berpakaian abu-abu, di SMA aku awal kali kelas
satu menjadi murid yang berada dalam kelas unggulan (lagi-lagi masuk
kelas unggulan), tetapi wajahnya teman-temanku tidak banyak yang baru
karena rata-rata mereka adalah teman-temanku di MTs. Di kelas itu aku
termasuk anak yang malas karena jarang sekali masuk kelas sama dengan
temanku yang bernama Mahbub Junaidy (anak Sidoarjo), yang membuatku
begitu adalah karena aku sudah mengenali lingkungan sekolah itu
sebelumnya dan juga karena sekolahku masuk siang, sehingga sering
ketiduran di pesantren. Hingga akhirnya aku terkena persyaratan
mengikuti ujian yaitu meminta tanda tangan guru yang sering tidak pernah
aku masuki pelajarannya, dan juga aku di ceramahi oleh wali kelasku
yang bernama ibu.Habibi, beliau adalah guru yang paling aku kagumi dan
paling aku senangi karena beliau sangat baik
padaku dan juga beliau adalah bibi dari Whielda. Beliau bilang “kenapa
kamu males masuk sekolah men?(beliau memanggilku omen karena Whielda
bilang pada beliau bahwa nama panggilanku adalah omen2), padahal
sebenarnya kamu itu pintar dan pandai tetapi kamu males”, akupun berkata
dalam hatiku “sama saja bu! Sebenarnya semuanya juga pasti pintar kalau
mereka tidak males!”. Tetapi di semester dua aku dan Mahbub mulai lebih
giat belajar dan masuk sekolah dan akupun membuktikan bahwa aku bisa
seperti mereka, sehingga akupun mendapat rangking 20 besar dari 45 siswa
yang ada dikelas yang lebih hebat lagi si Mahbub
dia mendapat rangking 8, padahal di semester 1 dia mendapat rangking 36
(hebat ngak? Hebatkan!). Di kelas 1 MA aku mulai mengenal wanita
sesungguhnya, ternyata wanita itu adalah seorang yang bisa membuat kita
mabuk kepayang dan bisa membuat kita linglung karena terlalu
bermain-main dengan mereka, dan aku mulai mengerti bahwa ternyata wanita
itu bila berpikir selalu hati-hati dan selalu memakai perasaan.
Setomboy-tomboynya wanita pasti seperti itu. Dan itu memang sifat yang
diciptakan tuhan untuk wanita (maaf bukan menghina). Setelah aku measuki
tahun ajaran kedua aku sekarang tidak lagi masuk kelas unggulan
melainkan masuk kelas paling bawah, tapi aku mendapat hikmah dari hal
ini karena dengan begitu temanku bertambah lagi. Bila dikelas 1 aku
hanya mengenal anak-anak pesantren maka dikelas 2 aku mempunyai banyak
teman dari luar pesantren atau para penduduk singosari dan sekitarnya,
dan juga aku lebih sering mendapat nila bagus bahkan masuk 10 besar
terus (hehehe!). Dikelas 2 aku merasakan sekolahku lebih semangat karena
adanya mereka, sehari tidak bertemu dengan mereka rasanya aku dicari
oleh sekampung Singosari, karena mereka orangnya baik-baik. Diantara
mereka adalah Latif, dia adalah temaku dari daerah sukun. Dia
saat kelas 2 membawa sepeda motor GL-Max, dan dengan sepeda itu aku
setiap pulang sekolah biasanya keliling daerah malang bersama latif
sampai tengah malam , dan dia anaknya baik sekali padaku karena setiap
istirahat sekolah aku ditraktir makan (makasih ya tef), biasa! Aku kan
tidak pernah bawa uang saku setiap sekolah sehingga dia prihatin ke aku
(padahal aku yang ditraktir malah gemuk). Dia itu termasuk salah satu
teman terbaikku di kelas 2 diantara yang lainnya seperti : Isom, aziz,
khoiri, londo, jajan, sophie dan lainnya, thank’s teman-teman atas
dukungan kalian selama ini. Aku di kelas 2 juga mengalami yang namanya
jatuh cinta pada seorang cewek yang sebenarnya aku sudah menaruh hati
padanya saat aku masih di MTs, tapi rasa itu baru menguat saat aku di
kelas 2 MA, tapi aku tidak pernah bilang padanya bahwa aku mencintainya,
bahkan sampai saat inipun aku belum pernah bilang padanya. Padahal
dahulu di kelas 2 kita sangat dekat sampai-sampai saling suap saat
dikantin, terus tukar gelang. Setiap hari aku diberi kue dan banyak deh
pokoknya! Tapi tetap saja aku masih takut untuk mengucapkan cinta
padanya. Kalau hanya sekedar gurauan aku sudah sering mengucapkan
padanya. Tapi dia mungkin tidak pernah tahu bahwa yang aku ucapkan
adalah benar. Sanking cintanya aku dengan dia sampai-sampai aku menulisi
dalam kopyahku (songkok hitam) dengan namanya. Tapi tidak pernah ada
yang tahu tentang hal ini sampai saat , bahwa aku mencintainya. Mereka
hanya tahu bahwa aku hanya bergurau saja. Yah beginilah hidupku yang
bersembunyi dalam bayangan omen.
Sejarah
nama omen. Omen2 adalah nama sebutan yang aku buat dengan salah satu
temanku,teman sebangku di SD yang bernama Zakki Zakariya, dia adalah
anak yang sangat pandai bahkan kalau aku boleh bilang dia mempuyai IQ
diatas rata-rata, sekarang dia di ITS Surabaya kuliyah jurusan ilmu
fisika. Zakki adalah omen1 sedang aku aku adalah omen2, Zakki adalah
seorang yang kurus, bahkan sangking kurusnya celana SD yang dulu masih
pas dipakainya (wah kamu kurang gizi kayaknya Zak! Hehehe). Omen kami
dapatkan setelah melihat film Dono Kasino Indro ditelevisi, disitu kami
mendapati tikus Dono yang bernama omen, terus kami berpikir “namanya
bagus juga ya! Bagaimana kalau kita pakai untuk nama panggilan kita, kan
enak manggilnya tinggal bilang hai men! Gaul kan!” kata Aku ketika itu.
Terus Zaki bilang “ok! Untuk mempererat dan menjaga hubungan kita”.
Akhirnya kamipun sepakat untuk saling memanggil omen. Tapi setelah aku
masuk MTs dan sudah tidak satu sekolah lagi denga Zakki akupun berpikir “kayaknya
aku harus memakai nama ini biar teman-teman enak memanggil namaku dan
tidak gampang lupa, tapi harus aku rubah arinya biar tidak dikira
seperti tikusnya Dono” akhirnya aku buat kalimat dari kata omen yaitu
“Ogah Mau Enak Nyendiri (tidak mau hidup enak sendiri)” dan juga ada
kalimat “Organisasi Manusia Edan Norak”. Dari hal itu semua, sampai saat
ini aku di pangil omen oleh teman-temanku mulai dari teman MTs, MA,
bahkan sampai kuliyah di STKIP PGRI Jombang namaku lebih terkenal dengan
OMEN daripada nama Musta’in Sayyidul Kawnain. Demikian cerita singkat
tentang nama oemn yang melekat pada diriku.
Lanjut
cerita di MA. Setelah aku ujian akhir kelas 2, aku naik ke kalas 3.
Dikelas 2 aku sudah memilih satu program dikelas 3, yaitu masuk kelas
bahasa, karena cita-citaku selain menjadi angkatan laut adalah juga
sebagai kritikus sastra dan bahasa, cita-citaku yang satu ini juga
kudapat ketika aku masih duduk dibangku SD, saat itu aku sedang
mengamati pelajaran bahasa Indonesia yang sangat paling tidak disukai
oleh para siswa. Dan aku berpikir “ kenapa bahasa Indonesia tidak
disukai? Padahal kita adalah orang Indonesia. Apa yang salah dari bahasa
Indonesia? Kenapa hanya sedikit guru yang memahami bahasa Indonesia
dengan benar-benar memahami? Kulihat mereka( sebagian guru bahasa
Indonesia) hanya duduk terus menulis dipapan kemudian memberi PR, hal
itu saja yang mereka lakukan setiap harinya tidak ada variasi apapun
menurutku. Masih lebih baik guru bahasa Indonesia di TK yang bisa
membuat anak kecil bisa membaca dan dapat berbicara bahasa Indonesia
dengan benar dan lancar. Oleh karena itu akupun memilih masuk kelas
bahasa di MA dari tiga pilihan yang diberikan yaitu: Bahasa. IPA, IPS.
Tetapi untuk masuk kelas bahasa sangat sulit, karena kelas bahasa adalah
kelas favorit di MA Almaarif. Maka dari itu siapa saja yang mau masuk
kelas bahasa harus wajib mengikuti ujian lisan, tetapi pada saat
angkatanku peraturan itu di hilangkan.
Pertama
kali memasuki kelas 3 aku mendapati namaku berada dikelas IPS, padahal
sebelum berangkat sekolah aku sudah yakin bahwa namaku ada dikelas
bahasa. Ketika itu aku kaget dan langsung lari ke kantor dan protes,
bahwa aku kemarin sebelum liburan mendaftarkan diri diprogram bahasa
bukan program IPS. Setelah aku protes, aku dipanggil oleh waka bidang
kuriklum, beliau bilang “ada apa in?” terus saya ucapkan masalahku, lalu
beliau menjawab “ kamu tidak bisa masuk kelas bahasa karena kamu punya
nilai 6 di bahasa inggris kamu, dan ini tidak memenuhi persyaratan untuk
masuk kelas bahasa karena kalau mau masuk program bahasa kamu harus
memiliki nilai bahasa arab 8 keatas, bahasa inggris 8 keatas dan bahasa
indonesia 8 keatas. Lah kalau dilihat dari nilai kamu, kamu lebih cocok
masuk program IPS karena nilai IPS kamu diatas 8 semua (padahal nilai
itu kudapat karena bantuan teman-temanku di kelas 2, karena mereka tahu
bahwa aku tidak bisa pelajaran IPS, apalagi masalah bab pajak!)” saat
itu akupun hanya termenung dan dikelabuti amarah, lalu aku bilang ke
beliau “kalau begitu kenapa teman saya punya nilai 4 dipelajaran
matematika bisa masuk program IPA?” dan beliaupun kaget sambil berkata”
siapa namanya? Pasti ada kesalahan!” akupun mejawab “Najibullah”.
Setelah itupun Najibullah langsung dipangil ke kantor, dan dibialangi
seperti aku (Najibullah ketika itu marah padaku karena aku bilang
seperti itu ke beliau, karena dia senang akhirnya dia bisa masuk
progaram IPA). Setelah itu Najib dipindah ke kelas bahasa sedang aku
masih menggantung di daftar nama anak-anak IPS. Saat itu aku langsung
lari ke wartel, telpon kerumah bahwa aku masuk IPS dan aku bilang ke ibu
bahwa aku tidakkan mau masuk sekolah kalau aku tidak masuk program
bahasa. Selang beberapa menit aku datang dari wartel aku mendapat
panggilan “Musta’in harap ke kantor”, mendengar hal itu aku langsung
lari kekantor dan ternyata disana banyak guru duduk dimeja kantor,
dihadapan semua guru aku ditanya “ kenapa kamu ngotot memilih masuk
program bahasa?” dan aku menjawab “karena saya ingin bisa bahasa inggris
pak!” terus beliau bilang “ apa bukan karena teman-teman sepesantrenmu
masuk progam ini ( memang pada saat itu semua anak PIQ yang seangkatan
bersama aku, masuk di program bahasa semua, kecuali Zaini karena dia
masuk program IPA). Dan aku mejawab “bukan pak! Tapi karena saya merasa
tidak mampu dalam bahasa inggris maka dari itu saya memilih program ini.
Aku mohon pak! Masukkan saya diprogram ini!” salah satu dari
beliau-beliau ada yang bilang “kamu kalau sudah begini merengek,
berwajah melas!”. Lalu beliau berkata padaku “barusan ibumu telpon ke
kami memohon agar kamu dimasukkan bahasa, sebenarnya kelas bahasa sudah
penuh bahkan sudah melebihi batas, tapi berhubung ibu kamu menelpon
kami, maka kamu kami masukkan bahasa, tapi kamu harus
berjanji bahwa kamu harus jadi guru bahasa inggris besok”. Lalu aku
menjawab “ baik pak! saya berjanji esok saya akan jadi guru bahasa
inggris insya Allah!”. Akhirnya beliau bilang “ ya sudah belajar yang
sungguh ya! Jangan kecewakan kami dan ibumu!”. Dengan perasaan lega aku
melangkah keluar kantor dan berlari menuju teman-temanku yang telah
masuk kelas terlebih dahulu. Sesampai dikelas aku duduk dan bercerita
pada teman-temanku yang satu pesantren denganku bahwa aku berhasil masuk
kelas bahasa.